Larangan Pengibaran One Piece: Tegas di Judul, Kabur di Dasar Hukum
Artikel Hukumonline menyajikan narasi pemerintah “tegas melarang pengibaran bendera One Piece”, bersandar pada UU 24/2009 dan etika penghormatan terhadap Merah Putih. Inti pesannya jelas: ekspresi boleh, asal tidak merendahkan simbol negara—misalnya menaruh Merah Putih “di bawah” simbol lain. Pada tataran komunikasi, framing ini memberi kesan kepastian; pada tataran hukum, justru mengundang pertanyaan: apa yang sebenarnya dilarang, dalam konteks apa, dan dengan sanksi apa?
Jika ditelusuri, UU 24/2009 memang ketat soal tata cara penggunaan bendera negara. Namun, norma itu mengatur kehormatan dan protokol Merah Putih—posisi, ukuran, konteks—bukan “larangan menyeluruh” atas bendera non-negara. Membaca UU ini secara teliti mendorong pembedaan penting: pelanggaran protokol penghormatan Merah Putih (yang bisa ditertibkan) tidak otomatis berujung kriminalisasi terhadap pengibar simbol fiksi yang berdiri sendiri. Di sinilah klaim “larangan” perlu dikabarkan dengan batas cakupan yang presisi.
Menariknya, redaksi yang sama juga menerbitkan ulasan kontra-dramatis: pengibaran bendera One Piece bukan makar dan ancaman pidananya dinilai berlebihan. Pandangan ini menegaskan bahwa selama Merah Putih tidak diganti/direndahkan, tindakan warga lebih dekat pada ekspresi simbolik—wilayah yang seharusnya dilindungi, bukan dituduh subversif. Jadi, dalam ekosistem liputan Hukumonline sendiri, “ketegasan” pemerintah bersanding dengan koreksi akademik-hukum yang menuntut proporsionalitas.
Konsekuensinya, yang dibutuhkan publik bukan slogan “tegas”, melainkan panduan teknis yang rinci: kapan suatu tindakan menista Merah Putih; apa bedanya kesalahan protokol (dibina/disanksi administratif) dengan delik pidana; dan seperti apa standar posisi/ukuran/ruang acara yang benar. Klinik Hukumonline bahkan memperjelas batas-batas praktis (misalnya soal satu tiang dua bendera, ketinggian relatif, serta konteks upacara), yang bila disosialisasikan secara luas akan meredakan kebingungan dan mencegah over-enforcement.
Di luar teks hukum, konteks sosialnya nyata: gelombang penggunaan Jolly Roger sebagai ekspresi protes damai jelang 17-an. Wajar jika pemerintah mengingatkan kehormatan simbol negara; tidak wajar jika retorika merembet ke diksi “makar” untuk tindakan non-kekerasan yang tidak mengganti Merah Putih di ruang kenegaraan. Ketika tafsir melompat dari etika protokoler ke kriminalisasi, yang retak lebih dulu adalah asas legalitas dan rasa keadilan.
Ringkasnya, artikel “pemerintah tegas melarang” berguna sebagai alarm etik, tetapi belum tuntas sebagai peta hukum. Ulasan yang lebih akurat seharusnya menempatkan larangan pada tiga rel: (1) kehormatan Merah Putih (non-negotiable), (2) kebebasan berekspresi (dilindungi), dan (3) proporsionalitas sanksi (administratif dulu, pidana hanya bila ada niat/perbuatan merendahkan simbol negara atau mengganggu ketertiban secara nyata). Tanpa rel ini, “tegas” mudah berubah “meleset”—menggigit kebebasan sipil alih-alih membina kepatutan publik.